Dua minggu sebelum Ramadhan menjelang, seperti biasa kami selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi makam ibuku. Namun kali ini istri dan anak-anakku yang lain tak bisa ikut serta, dan aku hanya bisa mengajak Dytha anak bungsuku yang masih berusia tujuh tahun. Walau terlihat masih kecil, Dytha anak yang sangat cerdas. Di sekolah ia termasuk pemegang peringkat teratas dari tiga puluh siswa.
Angin bertiup sepoi-sepoi ketika kami tiba di area pemakaman umum tempat ibuku atau nenek dari Dytha beristirahat ditempatnya yang terakhir. Pakaian dan rambut anakku yang panjang melambai-lambai ditiup angin. Sesekali ia menutup matanya karena debu ikut berterbangan, sementara tangan satunya dengan erat memegang celana panjangku. Setelah berjalan agak jauh ke penjuru pemakaman aku dan Dytha tiba di sebuah kubur yang telah terbentuk rapi.
Di batu nisan tertera tanggal lahir dan wafatnya ibu 19-10-1915 : 20- 01-1965, “Nak, ini kubur nenekmu mari Kita berdo’a untuk nenekmu” Sejenak Dytha melihat wajahku, sebentar kemudian ia mulai menirukan apa yang aku lakukan, mengangkat ke atas dan ikut memejamkan mata. Ia mendengarkan aku yang tengah berdo’a untuk Neneknya.
Namun tiba-tiba Dytha bertanya, “Ayah, nenek waktu meninggal umurnya lima puluh tahun ya Yah.” Aku mengangguk sembari tersenyum, seraya memandang pusara Ibu. Setelah diam sejenak ia kembali berceloteh, “Hmm, berarti nenek sudah meninggal 42 tahun ya Yah…” Kata Dytha berlagak sambil matanya menerawang dan jarinya berhitung. “Ya, nenekmu sudah di dalam kubur 42 tahun … ” jawabku dengan nafas dalam.
Kulihat Dytha memadang areal pekuburan, entah apa yang ada dibenaknya saat itu. kemudian matanya tertumbuk pada sebuah nisan yang berada persis di samping makam neneknya. Di nisan itu tertera sebuah nama dan tanggal lahir serta wafatnya. Abdul Muis, 19-02-1882 : 30-01-1910″.
“Hmm.. Kalau yang itu sudah meninggal 106 tahun yang lalu ya Yah”, jarinya menunjuk nisan disamping kubur neneknya. Sekali lagi aku hanya bisa mengangguk. Tiba-tiba saja aku ingin megelus kepala anakku dan aku semakin tidak mengerti apa yang ada dibenaknya saat itu. “Memangnya kenapa nak ?” kataku balik bertanya. “Hmmm, ayah khan pernah bilang, bahwa kalau kita mati, lalu di kubur dan kalau kita banyak dosanya, kita akan disiksa di dalam kubur” kata Dytha sambil meminta persetujuanku. “Iya kan yah?”
Aku hanya bisa tersenyum, “Lalu?” “Iya .. Kalau nenek banyak dosanya, berarti nenek sudah disiksa 42 tahun dong yah di kubur? Kalau nenek banyak pahalanya, berarti sudah 42 tahun nenek senang dikubur, Ya nggak yah?” mata Dytha berbinar karena bisa menjelaskan kepada Ayahnya pendapatnya. Sementera aku diam-diam merasa terkejut dengan celotehnya dan aku mulai merasakan kegalauan. “Iya nak, kamu pintar,” jawabku pendek.
Pulang dari pemakaman, celoteh anakku siang tadi masih saja terngiang-ngiang di telingaku. Aku terus saja memikirkan hal itu. “Empat puluh dua tahun hingga sekarang, kalau kiamat datang seratus tahun lagi, seratus empat puluh dua tahun disiksa atau bahagia dalam kubur,” aku mulai tertunduk membayangkan jika aku yang menhadapi siksa itu. tak terasa air mataku mulai menetes di atas sejadahku.
“Jika aku wafat dan meninggalkan banyak jejak dosa dalam hidupku, lalu kiamat masih seribu tahun lagi, berarti aku akan disiksa selama itu, ya Allah,” saat itu juga air mataku tumpah tak terbendung. “Iya kalau kiamat datang seribu tahun lagi, kalau dua ribu tahun lagi atau tiga ribu tahun kedepan, selama itu aku akan disiksa,” kegalauan dan kecemasan mendadak menyelimuti sekujur jiwa dan ragaku, aku juga semakin ngeri membayangkan hal itu.
Ya Allah… aku semakin menunduk dan sadar atas apa yang sudah aku kerjakan selama hidup, aku semakin sadar bahwa dosa sudah lebih banyak dari pada kebajikan yang pernah aku lakukan. Allahumma as aluka khusnul khootimah.. berulang kali aku baca doa itu berharap Allah mengampuni aku dan tak memberikan siksa yang maha dahsyat di alam kubur nanti, hingga akhirnya tangisku tak terbendung, meledak dikeheningan malam di bulan Ramadhan yang suci ini.
Kutatap dalam-dalam wajah putri bungsuku yang telah tertidur saat aku masih mengerjakan Sholat Isya. Wajahnya begitu damai karena tak ada setitik dosapun pada dirinya. Dytha terus saja tertidur tanpa tahu, aku sebetulnya ingin mengucapkan terima kasih karena telah menyadarkanku tentang kehidupan dan akhir dari kehidupan itu sendiri, “Yaa Allah, letakkanlah dunia ditanganku, jangan Kau letakkan dihatiku…” ucapku lirih, sambil kucium kening anakku.
sumber(perempuan)