Kata
musibah seringkali diulang dalam Al Qur’an untuk makna peristiwa atau bencana
yang menimpa. Dan Allah tegaskan bahwa itu terjadi karena izin-Nya. Ini
menunjukkan bahwa di atas segala kekuatan ada kekuatan Allah. Bahwa manusia di
alam ini hanya makhluk yang lemah, maka tidak pantas merasa diri berkuasa. Lalu
bertindak seenak nafsunya. Tanpa memperhatikan rambu-rambu yang Allah turunkan.
Lebih jauh, setiap musibah yang menimpa juga memperlihatkan bahwa alam ini di
bawah kendali Allah. Sebab Dialah memang Pemiliknya. Maka tidak pantas manusia
di muka bumi ini mengabaikan-Nya.
Namun
kenyataan sejarah selalu dipenuhi contoh-contoh manusia yang membangkang.
Manusia yang berani melawan Allah. Manusia yang merasa tidak butuh kepada
tuntunan-Nya. Sehingga wahyu yang Allah turunkan dianggap tidak penting. Bahkan
tidak sedikit manusia yang meragukan Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Akibatnya
berbagai perilaku manusia semakin jauh dari apa yang Allah inginkan. Perzinaan
di mana-mana dianggap biasa, padahal Allah melarangnya. Harta haram
dibanggakan, padahal itu harta yang paling Allah benci. Kedzaliman di mana-mana
terjadi, padahal Allah mengharamkan atas diri-Nya kedzaliman dan lain
sebaginya.
Ini semua
tentu dimurkai oleh Allah. Dan dalam Al-Qur’an, misalnya surah Al-Fajr, Allah
menjelaskan bahwa turunnya adzab sebenarnya bukan semata fenomena alam –
seperti yang banyak dipahami manusia modern – melainkan ada sebab yang
diperbuat oleh manusia sendiri. Itulah kisah adzab yang menimpa kaum Aad, kaum
Tsamud dan kaum Fir’un.
Dari sini
kita belajar bahwa bencana tetap di luar kemampuan manusia, karena Allah
langsung yang mengendalikannya. Dan manusia tidak punya pilihan –apapun upaya
yang dilakukan – kecuali hanya tunduk dan patuh kapada Allah sepenuh hati dan
semaksimal kemampuan. Jangan ulangi kembali dosa-dosa yang membuat Allah murka.
Jauhi segala apa yang Allah haramkan. Ingat Allah mempunyai tujuan dan aturan.
Maka sebagai makhluk, manusia harus tahu diri. Jangan menganggap dirinya sama
dengan Allah. Lalu merasa independen dan menganggap dirinya bisa bertahan hidup
tanpa Allah.
Segeralah
bertaubat, selamatkan kemanusiaan. Hindari mengagungkan kepentingan peribadi di
atas kepentingan umum. Karena seringkalai kedzaliman terjadi karena nafsu
mendahulukan kepentingan pribadi. Ingat bahwa semakin banyak kedzaliman pasti
akan semakin banyak kerusakan di muka bumi. Dan semakin banyak kerusakan,
kemaksiatan dan dosa-dosa pasti akan semakin mempercepat turunnya azab Allah
swt.
Renungkan
ayat berikut (dalam surah Al-Fajr 6-13) Allah menegaskan setelah menyebutkan
tiga contoh kaum yang pernah maju dari segi peradaban dunia yaitu: kaum Aad,
Tsamud dan Fir’un: Allah berfirman: “Alladziina thagahaw fil bilaad, faaktsaruu
fiihal fasaad, fashaabba alaihim rabbuka sawtha adzaab (mereka telah berbuat
kerusakan di negeri mereka, maka menyebarlah kerusakan di negeri tersebut, lalu
Allah timpakan adzab yang pedih atas mereka).”
Memang
tidak semua musibah minimpa orang-orang yang bejat. Ada juga contoh-contoh
orang baik yang mendapatkan musibah. Berdasarkan ini tidak semua musibah yang
menimpa harus kita pahami sebagai adzab. Setidaknya ada tiga makna di balik
setiap musibah yang menimpa manusia: Pertama, bila itu menimpa sekelompok
manusia yang semuanya kafir itu adalah adzab, seperti yang Allah timpakan atas
kaum Adz, Tsamud dan Fir’un. Kedua, bila ia menimpa sekelompok manusia yang
beriman, sebagiannya patuh sementara sebagian yang lain pendosa, itu adalah
peringatan, agar tida dilanjutkan dosa-dosa tersebut. Ketiga, bila itu menimpa
sekelompok kaum yang shaleh, itu ujian, untuk mencuci dosa-dosanya serta
menaikkan derajatnya di dunia dan di surga. Karenanya Allah berfirman: “Wabasysyirish shaabiriin
(dan berilah kabar gembira bagi mereka yang sabar).” Maksudnya bahwa sayarat untuk lolos
dari setiap musibah adalah sabar: sabar mentaati Allah, sabar menjauhi
kemaksiatan dan sabar menjalani ujian-Nya.
Semoga
segala musibah yang menimpa kita semakin menguatkan hakikat kesabaran dalam
jiwa. Dan membuat kita semakin dekat kepada Allah secara jujur kapan pun dan di
mana pun kita berada, bukan sekedar ingat secara basa-basi di saat musibah
menimpa. Ingat, Allah selalu melihat hakikat keimanan kita: “Innarabbaka labil mirshaad.”
Wallahu a’lam bishshawab.
sumber(pembinaanpribadi)