"Investasi" lewat Vaksinasi HPV
KENDATI banyak perempuan paham cara memproteksi diri dari serangan virus human papilloma, namun masih sedikit yang proaktif melakukan skrining ataupun vaksinasi. Padahal, melakukan dua hal tersebut berarti Anda sudah melakukan ”investasi” dalam hidup.
Human papilloma virus (HPV) yang diyakini kalangan kedokteran sebagai penyebab kanker serviks sangat mungkin dicegah ”penetrasinya” ke dalam tubuh manusia. Perlu diingat, kanker serviks merupakan satu-satunya kanker yang sudah diketahui penyebabnya, yakni HPV itu tadi.
Nah, dengan penemuan ini, umat manusia sejatinya diberi peluang untuk melakukan tindakan preventif demi mencegah serangan virus yang dapat ditularkan melalui kontak kulit tersebut. Kendati demikian, pada kenyataannya diIndonesia masih sedikit orang, khususnya perempuan, yang betul-betul concern terhadap bahaya yang mengancam mereka itu.
Buktinya, kasus kanker serviks dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Jadi, penyakit ini pun layak disemati predikat salah satu pembunuh wanita terbesar di dunia dan Indonesia. Data menunjukkan, tiap dua menit sedikitnya satu perempuan di dunia meninggal akibat kanker serviks. Sementara di Indonesia, diperkirakan 20 orang perempuan meninggal karena kanker yang sama setiap hari.
Retno Mardiana mungkin termasuk salah seorang yang ”beruntung” karena mampu melawan serangan HPV. Sepuluh tahun lalu, wanita berusia 46 tahun ini pernah terdiagnosa kanker serviks stadium 1B. Setelah melalui proses pengobatan yang berlangsung sekitar satu tahun, dia pun dinyatakan sembuh.
”Saya sudah melewati fase (perawatan) lima tahun, bahkan sekarang memasuki tahun kesembilan sejak saya dioperasi. Saya masih rutin cek setiap tahun dan dokter bilang saya bersih.Tidak ditemukan lagi sel abnormal di leher rahim saya,” kata Retno.
Gejala yang dialami Retno sebelum dinyatakan mengidap kanker serviks adalah keputihan. Lantaran kurang pengetahuan, keputihan itu diabaikan oleh ibu satu anak ini hingga lama-kelamaan keadaan tersebut terasa semakin tidak wajar. Bahkan, belakangan Retno mengalami pendarahan setelah melakukan hubungan seksual dengan suaminya.
”Dari pemeriksaan luar saja, dokter sudah curiga saya mengidap kanker serviks. Saya lantas dibiopsi untuk mengetahui stadiumnya. Setelah bolak-balik ke dokter selama 10 hari,saya pun dioperasi,” cerita Retno.
Retno tak sempat melakukan kemoterapi ataupun radiasi untuk membunuh sel kanker di tubuhnya. Meski begitu, tindakan pengobatan yang lebih ”sederhana” saja sudah cukup menguras kantongnya.
Memang, biaya untuk mengobati penyakit ini terbilang sangat mahal. Menurut Retno, untuk level paling rendah, biaya paket pengobatan bagi pasien kanker serviks bisa mencapai Rp60 juta. Ketimbang skrining ataupun vaksinasi, biaya tersebut tentu jauh lebih mahal. Bandingkan bila Anda harus mengeluarkan dana Rp1,8–2 juta untuk vaksinasi yang efektivitasnya bisa berlangsung sampai sembilan tahun. Bila satu tahun ada 365 hari, dikalikan sembilan tahun, dapat dikirakira besaran uang yang harus dikeluarkan untuk tindakan preventif ini, yakni kurang dari Rp1.000 per hari.
Lantas, kenapa perempuan masih banyak yang enggan melakukan skrining dan vaksinasi? Menurut Retno, bisa jadi mereka masih banyak yang merasa takut dan awam terhadap ”budaya” vaksinasi.Tak bisa dipungkiri, melakukan vaksinasi memang belum menjadi budaya di negeri kita.
”Masih banyak yang takut melakukannya. Padahal, vaksinasi itu penting. Masyarakat kita saja yang belum terbiasa dengan vaksinasi, yang sebetulnya bisa menjadi investasi kita. Coba kalau kita terdiagnosa kanker stadium lanjut, duh sedih,” tutur Retno.
Sehat itu memang mahal. Namun, akan jauh lebih mahal jika kita sudah jatuh sakit. Apalagi kalau penyakitnya kanker serviks. Selain beban ekonomi, si pengidap penyakit juga bakal meninggalkan beban sosial dan psikologis bagi keluarganya, terutama anak-anak.
Bayangkan, ketika anak masih kecil dan membutuhkan dekapan, kasih sayang,serta bimbingan seorang ibu, sang ibu malah ”sibuk” mengurusi penyakitnya. Tentu itu semua sangat tidak kita harapkan.
Human papilloma virus (HPV) yang diyakini kalangan kedokteran sebagai penyebab kanker serviks sangat mungkin dicegah ”penetrasinya” ke dalam tubuh manusia. Perlu diingat, kanker serviks merupakan satu-satunya kanker yang sudah diketahui penyebabnya, yakni HPV itu tadi.
Nah, dengan penemuan ini, umat manusia sejatinya diberi peluang untuk melakukan tindakan preventif demi mencegah serangan virus yang dapat ditularkan melalui kontak kulit tersebut. Kendati demikian, pada kenyataannya diIndonesia masih sedikit orang, khususnya perempuan, yang betul-betul concern terhadap bahaya yang mengancam mereka itu.
Buktinya, kasus kanker serviks dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Jadi, penyakit ini pun layak disemati predikat salah satu pembunuh wanita terbesar di dunia dan Indonesia. Data menunjukkan, tiap dua menit sedikitnya satu perempuan di dunia meninggal akibat kanker serviks. Sementara di Indonesia, diperkirakan 20 orang perempuan meninggal karena kanker yang sama setiap hari.
Retno Mardiana mungkin termasuk salah seorang yang ”beruntung” karena mampu melawan serangan HPV. Sepuluh tahun lalu, wanita berusia 46 tahun ini pernah terdiagnosa kanker serviks stadium 1B. Setelah melalui proses pengobatan yang berlangsung sekitar satu tahun, dia pun dinyatakan sembuh.
”Saya sudah melewati fase (perawatan) lima tahun, bahkan sekarang memasuki tahun kesembilan sejak saya dioperasi. Saya masih rutin cek setiap tahun dan dokter bilang saya bersih.Tidak ditemukan lagi sel abnormal di leher rahim saya,” kata Retno.
Gejala yang dialami Retno sebelum dinyatakan mengidap kanker serviks adalah keputihan. Lantaran kurang pengetahuan, keputihan itu diabaikan oleh ibu satu anak ini hingga lama-kelamaan keadaan tersebut terasa semakin tidak wajar. Bahkan, belakangan Retno mengalami pendarahan setelah melakukan hubungan seksual dengan suaminya.
”Dari pemeriksaan luar saja, dokter sudah curiga saya mengidap kanker serviks. Saya lantas dibiopsi untuk mengetahui stadiumnya. Setelah bolak-balik ke dokter selama 10 hari,saya pun dioperasi,” cerita Retno.
Retno tak sempat melakukan kemoterapi ataupun radiasi untuk membunuh sel kanker di tubuhnya. Meski begitu, tindakan pengobatan yang lebih ”sederhana” saja sudah cukup menguras kantongnya.
Memang, biaya untuk mengobati penyakit ini terbilang sangat mahal. Menurut Retno, untuk level paling rendah, biaya paket pengobatan bagi pasien kanker serviks bisa mencapai Rp60 juta. Ketimbang skrining ataupun vaksinasi, biaya tersebut tentu jauh lebih mahal. Bandingkan bila Anda harus mengeluarkan dana Rp1,8–2 juta untuk vaksinasi yang efektivitasnya bisa berlangsung sampai sembilan tahun. Bila satu tahun ada 365 hari, dikalikan sembilan tahun, dapat dikirakira besaran uang yang harus dikeluarkan untuk tindakan preventif ini, yakni kurang dari Rp1.000 per hari.
Lantas, kenapa perempuan masih banyak yang enggan melakukan skrining dan vaksinasi? Menurut Retno, bisa jadi mereka masih banyak yang merasa takut dan awam terhadap ”budaya” vaksinasi.Tak bisa dipungkiri, melakukan vaksinasi memang belum menjadi budaya di negeri kita.
”Masih banyak yang takut melakukannya. Padahal, vaksinasi itu penting. Masyarakat kita saja yang belum terbiasa dengan vaksinasi, yang sebetulnya bisa menjadi investasi kita. Coba kalau kita terdiagnosa kanker stadium lanjut, duh sedih,” tutur Retno.
Sehat itu memang mahal. Namun, akan jauh lebih mahal jika kita sudah jatuh sakit. Apalagi kalau penyakitnya kanker serviks. Selain beban ekonomi, si pengidap penyakit juga bakal meninggalkan beban sosial dan psikologis bagi keluarganya, terutama anak-anak.
Bayangkan, ketika anak masih kecil dan membutuhkan dekapan, kasih sayang,serta bimbingan seorang ibu, sang ibu malah ”sibuk” mengurusi penyakitnya. Tentu itu semua sangat tidak kita harapkan.